![]() |
| Ilustrasi |
Oleh: Ahmad Manarul Hidayatullah, S.H.
Monitorberita.id, Kasus dugaan pemerasan yang menyeret oknum wartawan terhadap ASN di Lampung Tengah belakangan ini menuai banyak sorotan. Kejadian ini sontak membuat gemuruh berita lokal dan sampai nasional. Di media sosial, bahkan muncul komentar-komentar yang menggiring opini seolah seluruh wartawan berperilaku serupa. Padahal, pandangan semacam ini jelas keliru dan tidak adil.
Kita harus membedakan antara oknum yang menyalahgunakan profesi dengan wartawan sejati yang bekerja berdasarkan idealisme dan etika jurnalistik.
Wartawan sejati berpegang pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Mereka bukan pencari keuntungan pribadi, tetapi penegak informasi publik yang berjuang agar masyarakat mendapatkan berita yang benar dan berimbang.
Kita harus menegaskan sejak awal: pemerasan bukanlah bagian dari kerja jurnalistik. Wartawan yang sejati tidak memeras, tidak mengancam, dan tidak memperjualbelikan informasi.
Mereka bekerja dengan menjunjung Kode Etik Jurnalistik (KEJ) — mengutamakan kebenaran, melakukan verifikasi, dan memberi ruang bagi semua pihak untuk didengar.
Kalau pun ada oknum yang menyimpang dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka itu adalah urusan pribadi dan individual, bukan kesalahan profesi. Sama halnya seperti dalam profesi lain, selalu ada segelintir orang yang menyalahgunakan jabatan atau peran untuk kepentingan pribadi. Namun tidak bijak jika kemudian seluruh profesi digeneralisasi atau dihina karena ulah segelintir pelaku.
Dalam konteks dugaan pemerasan ini, perlu juga disampaikan bahwa wartawan di lapangan sering kali menghadapi tekanan, kesalahpahaman, dan bahkan stigma negatif. Ada kalanya hubungan antara narasumber dan jurnalis diwarnai rasa curiga, terutama ketika berita menyangkut dugaan penyimpangan anggaran, kebijakan publik, atau proyek pemerintah.
Ketegangan ini bisa menimbulkan gesekan, dan di sinilah pentingnya membedakan antara wartawan yang menjalankan tugas kontrol sosial dengan oknum yang memanfaatkan profesi untuk kepentingan pribadi.
Kita percaya, mayoritas wartawan di Indonesia masih bekerja dengan idealisme dan integritas tinggi. Mereka tidak hanya mencari berita, tetapi juga memperjuangkan transparansi dan keadilan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, pemberitaan tentang kasus pemerasan tidak boleh dijadikan alasan untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap media. Sebaliknya, hal ini harus menjadi momentum introspeksi bersama agar profesi wartawan semakin bersih, profesional, dan dihormati.
Penegakan hukum terhadap oknum harus berjalan, tetapi kehormatan profesi wartawan juga harus dilindungi. Karena tanpa wartawan yang berani dan berintegritas, demokrasi akan kehilangan salah satu pilar penyangganya yang paling penting.
Wartawan bukanlah musuh, bukan pula pengancam.
Mereka adalah mata, telinga, dan suara masyarakat.
Dan profesi itu terlalu mulia untuk dinodai oleh ulah segelintir oknum yang lupa akan tanggung jawabnya.
